Google
 

Rabu, 19 Maret 2008

Puncak Kenangan Ponorogo

“Pringgitan…. Pringitan…..” teriak kondektur bis jurusan Ponorogo – Pacitan. Sambil berlari-lari kecil kami menyongsong panggilan kondektur bus.
“Pringgitan..??? “ tanyanya sekali lagi. Dan akupun menangguk.
Akhirnya melajulah bis yang kami tumpangi bersama, menuju bukit pringgitan yang terletak di Kec. Slahung Kab. Ponorogo.
“Balai Desa…. Bale desa…. Caluk…Caluk…” Kondektur memberi aba-aba kepada kami yang akan menuju Pringgitan. Dan kami pun turun….


Tak lama setelah kumpul nge-check perlengkapan, kami pun mula perjalanan. Diterangi temaram sinar rembulan menambah suasana menjadi tambah menyenangkan. Oh…ya biasanya kami pergi ke puncak pada saat bulan purnama, biasanya sangat ramai.
Perjalanan sekitar 2 – 3 jam, akhirnya kami sampai di puncak Pringgitan. Rasa lelah yang kami derita serasa hilang tatkala kami hampir sampai ke puncak, dari jauh sayup-sayup terdengar suara gitar dan nyanyian. Wah meriah deh pokoknya…!!

Pringgitan bagi sebagian besar para pecinta alam Ponorogo menorehkan sejuta kisah yang masih melekat erat di sanubari mereka. Dimana mereka berkumpul tanpa undangan, dimana mereka bisa lepas dari kesibukan di rumah atau sekolah masing-masing. Kalau difikir-fikir ini memang tempat rekreasi yang cukup murah meriah. Bagaimana tidak?? Dengan perlengkapan “naik gunung” sederhana, makanan seadanya, disana kita bisa mendapatkan kesan naik gunung dan bercanda tawa dengan sesama “pendaki”.
Tapi… tak hanya “pecinta alam” saja, kadang-kadang kami-pun menjumpai beberapa yang hanya sekedar iseng. Hal inilah yang sering menjadikan pringgitan terkesan menjadi tempat “mesum”. Bahkan ada pepatah “Karena nila setitik, rusaklah susu sebelangga”. Karena beberapa oknum berbuat maksiat akhirnya kesucian persahabatan di puncak “pringgitan” menjadi ikut tercemar.
Mbok Yem…… pasti nama itu belum hilang dari telinga kalian para “Petualang Ponorogo”. Ya…. Sosok nenek tua renta yang sampai sekarang masih tegar menghadapi laju era globalisasi. Sekarang gimana ya keadaanya???? Apakah sudah bisa pakai Handphone?? Menikmati Film VCD?? Nonton Sinetron?? Rasa-rasanya dia tidak melakukan itu, karena Mbok Yem tetaplah Mbok Yem yang tetap abadi dalam keluguannya. Tiap pagi sampai sore bekerja di ladang atau dihutan, memberi makan sapinya, dan setelah itu jika matahari mulai memerah hingga akhirnya gelap dia pun istirahat. Kepolosannya merupakan cermin dari kehidupan masyarakat desa terpencil. Dan tentu saja masih banyak Mbok Yem lain di luar sana.
Ke Pringgitan ketemu monyet??? Pertanyaan itu datang kepadaku. Lalu aku jawab “ benar”, tapi itu dulu “yah… sekitar tahun 90-an masih ada. Mungkin “mereka” merasa terganggu dengan datangnya manusia ke “puncak”. Kalo dulu mereka sering nongol di sekitar orang-orang yang sedang ngobrol, diberi makanan kecil, lalu berlari-lari kesana kemari dengan riangnya. Lucu kan?? Tapi sayang sejak para pendaki
mulai “mengotori” tempat ini, mereka malas untuk bergaul lagi dengan kita.
Ngomong-ngomong soal kenangan pringgitan, tentunya kalianpun memilikinya. Dari yang manis sampai yang manis, dan bohong kalau kenangan itu terlupa hingga saat ini. Masih pengen kesana??? Nah sekarang sudah leih enak koq. Kita bisa pakai

1 komentar:

Anonim mengatakan...

memang benar yang aku dengar waktu pertama kali menginjakkan kaki ku di pringgitan,terdengar pula nada2 sumbang.pi aku g peduli karna bagi aku bagaimana orang yang ngejalaninnya ajah.and kesan pertama aku di pringgitan,wauwww inilah ponorogo kota yang telah membesarkan aku.di situ aku bisa kenal banyak orang,g peduli status,agam n ras.